Birokrasi di Indonesia
Birokrasi di Indonesia awalnya sebagaimana diperkenalkan oleh budaya Eropa di mulai dari masa-masa kolonial antara lain dengan masacultuurstelsel, masa desentralisasi dan emansipasi, masa pemerintah pusat (centraal bestuur), masa Binnenlands Bestuur danambtskostuum binnenlands bestuur, masa pendudukan bala tentara Jepang dan kemudian masa dimana setelah proklamasi kemerdekaan17 Agustus 1945 pemerintahan Indonesia melalui Kasman Singodimedjo ketua KNIP pada 25 September 1945 mengumumkan bahwa presiden Indonesia memutuskan bagi keseluruhan pegawai-pegawai pemerintahan terdahulu dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi pegawai pemerintahan Indonesia.
Birokrasi dalam budaya barat

Contoh diagram dari administrasi publik
Birokrasi (
bahasa Inggris:
bureaucracy ~ bu·reauc·ra·cy ~ bjʊəˈrɒkrəs) (
bahasa Perancis:
bureaucratie) mempunyai arti
bureau + cratie atau sistem struktur manajemen pemerintahan negara atau administrasi besar atau organisasi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan yang kompleks yang ditandai dengan otoritas hirarkis di antara banyak kantor dengan prosedur yang tetap
Teori-teori dalam birokrasi
Max Weber, seorang sosiolog Jerman menulis sebuah alasan yang menggambarkan bentuk birokrasi
[2]sebagai cara ideal mengatur organisasi pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk birokrasi antara lain harus terdapat adanya
struktur hirarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan dikendalikan dalam sebuah hirarki formal atas dasar dari perencanaan pusat dan pengambilan keputusan,
manajemen dengan aturan yang jelasadanya pengendalian melalui aturan yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya,
organisasi dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan dilakukan berdasarkan keahlian,
mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedangkan dilaksanakan dalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat melayani kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani organisasi itu sendiri harus melalui perhitungan pencapaian pada tujuan,
perlakuan secara impersonal idenya agar memperlakukan semua pelaksana dan kepentingan diperlakukan secara sama sama dan tidak boleh dipengaruhi oleh perbedaan individu,
bekerja berdasarkan kualifikasi teknis merupakan perlindungan bagi pelaksana agar dapat terhindar dari pemecatan sewenang-wenang dalam saat menjalankan tugasnya. Akan tetapi, menurut
Cyril Northcote Parkinson seorang sejarawan angkatan laut
Inggris yang menulis bahwa
Weber kurang menyadari bahwa manajemen dan staf profesional akan cenderung tumbuh mengikuti pada tingkat yang tidak diprediksi oleh garis organisasi
[3] sedangkan
David Osborne dan
Ted Gaebler menyarankan bahwa birokrasi harus berubah menjadi birokrasi yang lebih memperhatikan partisipasi masyarakat, adanya kerja tim serta kontrol rekan sekerja (peer group) dan atasan bukan lagi merupakan dominasi atau kontrol
[4]. Berikut rangkuman dari teori-teori birokrasi.
Sistem Birokrasi I
Rowing (Mendayung/bekerja sendiri) Service (Melayani) Monopoly (Menguasai sendirian) Rule-driven (Digerakan oleh aturan) Budgeting inputs (Menunggu anggaran) Bureaucracy-driven (Dikendalikan birokrat) Spending (Pengeluaran) Curing (Penyembuhkan) Hierarchy (Berjenjang) Organization (Organisasi, lembaga) | Sistem Birokrasi II
Steering (Menyetir/mengarahkan) Empowering (Memberdayakan) Competition (Ada persaingan) Mission-driven (Digerakkan oleh misi) Funding outcomes (Menghasilkan dana) Customer-driven (Dikendalikan pelanggan/pembayar pajak) Earning (Penghasilan/tabungan) Preventing (Pencegahan) Teamwork /participation (Pelibatan/kerja kelompok) Market (Pasar, keseimbangan orang banyak) |
Sejarah
Peran birokrasi pada masa kolonial
Kekuatan kolonial di kepulauan Indonesia mempunyai kepentingan bagaimana mengendalikan seluruh wilayah dengan mempertimbangkan jarak, daratan dan wilayah antar negeri yang sangat besar agar tidak menyulitkan dalam melakukan eksplorasi sumber-sumber daya, selain dari itu perlu adanya partisipasi pasif, partisipasi aktif dari bumiputera sangat diperlukan, kolaborasi dalam partisipasi aktif ini tentunya dengan tidak boleh mengorbankan kekuasaan dan pengaruh kolonialisme.
Pemerintahan kolonial dikontrol secara terpusat di
Batavia (sekarang Jakarta) melakukan administrasi secara keseluruhan dan bertindak atas nama
kerajaan Belanda (dengan jabatan setingkat menteri koloni) yang umum dikenal sebagai gubernur jenderal yang dibantu oleh dewan Hindia Belanda (raad van Nederlands-Indië), sekretariat umum (algemene secretarie), departemen administrasi umum (departementen van algemeen bestuur) dan pemerintahan daerah (het binnenlands bestuur} dengan birokrasi Eropa yang ruang lingkup kerja terbatas bagi bangsa Eropa sedangkan bagi bumiputera selalu berada di bawah pengarahan langsung dari pemerintahan lokal
Inlandsche Bestuur (pangreh praja) yang mencakup bagian besar dari dahulu yang disebut dengan wilayah
Hindia Belanda,
pemerintahan sendiri seperti raja, pangeran dengan melalui kesepakatan politik dengan pemerintah kolonial namun ada pula daerah yang dikuasai secara langsung dimana pemerintahan kolonial ikut membentuk birokrasi yang berdampingan dengan birokrasi pemerintahan lokal seperti yang terlihat pada administratif pemerintahan di pulau Jawa dan Madura sekitar tahun
1829 bersamaan dengan mulai dikenalkan konsep birokrasi Eropa terutama dalam sangkutan dengan komoditas ekspor. kebijakan
cultuurstelsel berangsur-angsur berubah dengan demikian sektor swasta mulai bermunculan antara lain perkebunan dan perindustrian dengan kedatangan pekerja penduduk Eropa di bidang perkebunan, perdagangan komersial dan industri bersamaan dengan itu budaya politik saat itu mulai ikut
menumbuhkan gerakan nasionalisme di Indonesia.
Pada tahun
1905 mulai terbentuk pemerintahan walaupun dengan kekuasaan terbatas dan tetap di bawah pimpinan pemerintah daerah Eropa berlanjut pada tahun
1916 terbentuk pula pemerintahan kota-kota besar dengan pemerintahan sendiri dengan walikota bukan merupakan bagian dari pemerintah daerah Eropa, pada
1918 mulai terdapat dewan rakyat yang berbentuk badan perwakilan dari berbagai kelompok yang diwakili dalam dewan ini. dilanjutkan pada tahun
1925 wilayah dibagi dalam beberapa tingkat administratif baru, provinsi di pulau Jawa dan Madura dan pemerintah di luar daerah (pulau-pulau di luar Jawa dan Madura). Di samping itu, di pulau utama Jawa dan Madura ke pemerintah daerah asli lebih mandiri dengan pengalihan fungsi tersebut.
Awal kemerdekaan
Pada tanggal
30 Mei 1948 melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948 pemerintah
RI yang berkedudukan di
Jogjakarta baru mendirikan
Kantor Urusan Pegawai (KUP) sedangkan pemerintahan
RIS yang berkedudukan di
Jakarta untuk masalah kepegawaian dibentuk melalui
Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 10 tanggal
20 Februari 1946 dengan nama
Kantor Urusan Umum Pegawai (KUUP) yang berada di bawah departemen urusan sosial namun dengan
Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 13 Tahun 1948 membatalkan keputusan terdahulu dan membentuk
Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) yang langsung dibawah Gubernur Jenderal, antara
Kantor Urusan Pegawai (KUP) dan
Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) masing-masing melaksanakan kegiatannya sendiri-sendiri hingga terdapat dualisme dalam birokrasi di Indonesia, kemudian karena adanya pengakuan kedaulatan
Indonesiapada tanggal 27 Desember 1949 melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 dibentuklah
Kantor Urusan Pegawai (KUP) guna menyatukan
Kantor Urusan Pegawai (KUP) dan
Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) dan berada di bawah dan bertanggugjawab kepada
perdana menteri akan tetapi karena suasana perpolitikan saat itu,
Kantor Urusan Pegawai (KUP) yang akan menata birokrasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya disusul pada tanggal
17 Agustus 1950, terjadi pergantian
konstitusi RIS berubah menjadi
UUDS 1950 yang berakibat terjadinya perubahan bentuk negara kembali ke negara kesatuan. Tahun
1953 T.R. Smith membantu menyusun laporan untuk
Biro Perancang Negara berjudul
Public Administration Training, setahun kemudian dua orang profesor dari
Cornell University, School of Business and Public Administration Amerika yang diundang ke
Indonesia yaitu
Edward H. Lichtfeld dan
Alan C. Rankin yang berhasil menyusun laporan rekomendasi yang berjudul
Training for Administration in Indonesia[5][6]. Pada masa kabinet
Ali Sastroamidjojo II (
20 Maret 1956 -
9 April 1957) melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1957 dibentuk
Panitia Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian atau
Panitia Organisasi Kementerian (PANOK) sebagai pengganti
Kantor Urusan Pegawai (KUP) serta ikut dibentuk
Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang bertugas menyempurnakan
administratur negara atau birokrasi keduanya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
perdana menteri.
Pada tanggal
5 Juli 1959, dikeluarkan
dekrit presiden yang menyatakan berlakunya kembali
UUD 1945 dan presiden melalui
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 melarang
PNS golongan F menjadi anggota dari
partai politik selanjutnya pada tahun
1961 dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kepegawaian dan dibentuk
Badan Administrasi Kepegawaian Negara(BAKN) diikuti dengan lembaga baru bernama
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang menghasilkan
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1962 tentang pokok-pokok organisasi aparatur pemerintah negara tingkat tertinggi, dua tahun kemudian dikeluarkan
Keppres Nomor 98 Tahun 1964 dibentuk
Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) merupakan kelanjutan dari
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), retooling atau "pembersihan" dalam dua kepanitian terakhir ini lebih bernuansa politis dengan penyingkiran birokrat yang tak sehaluan dengan partai yang sedang memerintah (the ruling party) atau
yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan republik.
Birokrasi dalam perkembangan
Dalam perkembangannya pengorganisasian birokrasi mulai diwarnai dengan ketidakpastian akibat peranan partai-partai politik yang saling bersaing dengan sangat dominan, partai-partai politik mulai melakukan
building block kekuasaan melalui pos-pos kementerian strategis di jajaran pemerintahan sebagai sumber daya kelangsungan partai politik yang bersangkutan, program rekrutmen birokrasi ikut mengalami
spoil system yang merajalela mulai dari pengangkatan, penempatan, promosi dan instrumen kepegawaian lainnya tidak didasarkan kriteria penilaian melainkan berdasarkan pertimbangan politik, golongan serta unsur-unsur lainnya diluar tugas birokrasi.
Pada tahun
1966 awal pemerintahan
Suharto bedasarkan
Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera ditunjuk selaku presiden dan ketua presidium Kabinet Ampera melalui
Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 266 Tahun 1967 kembali membentuk panitia pengorganisasian birokrasi sebagai pembantu presidium yang kemudian dikenal dengan nama
Tim Pembantu Presiden untuk Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintah atau disingkat menjadi
Tim PAAP yang beranggotakan sebelas orang dengan
Menteri Tenaga Kerja selaku ketua didampingi oleh direktur
LANsebagai sebagai sekretaris serta dibantu oleh lima orang penasehat ahli yang mengusulkan unit kerja baru bernama
Sekretariat Jenderal,
Direktorat Jenderal dan
Inspektorat tercermin dalam
Keputusan Presidium Kabinet Nomor 75/U/KEP/11/1966 serta dalam pengorganisasian kembali birokrasi pada kementerian negara melalui
Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1966 dilakukan pengubahan penggolongan
PNS dari golongan A sampai dengan F menjadi golongan I sampai dengan IV.
Selanjutnya pada tahun
1968 kembali dibentuk
Panitia Koordinasi Efisiensi Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur Pemerintah yang disebut pula sebagai
Proyek 13 disusul dengan
Keppres Nomor 16 Tahun 1968 yang kemudian disempurnakan dengan
Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1968,
Proyek 13 ini kemudian berganti nama menjadi
Sektor Penyempurnaan dan Penertiban Administrasi Negara yang lebih dikenal dengan nama
Sektor P' dengan anggota terdiri dari Lembaga Administrasi Negara
(LAN), Badan Administrasi Kepegawaian Negara
(BAKN), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), Sekretariat Negara, Departemen Keuangan, Departemen Tenaga Kerja, serta Departemen Transmigrasi dan Koperasi. yang diketuai oleh Awaloeddin Djamin yang menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dengan tugas agar dapat menyempurnakan administrasi pemerintahan.Ketika
Suharto pertama kali membentuk Kabinet Pembangunan I dengan
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968, dibentuk kementerian nomenklatur baru yaitu
Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara bertugas antara lain melanjutkan
pembersihan birokrasi dari unsur-unsur apa yang disebut dengan
berpolitik kepartaian lalu berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 pada tanggal 29 Nopember 1971 didirikan
Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi wadah tunggal bagi seluruh pegawai pemerintahan
Indonesia dan dalam perkembangan selanjutnya
Tim PAAP dan
Proyek 13 akhirnya dilebur kedalam
Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara sedangkan
Sektor Aparatur Pemerintah (Sektor P) tetap dan berfungsi meliputi penyusunan kebijaksanaan, perencanaan, pembuatan program, koordinasi, pengendalian, dan penelitian dalam rangka menyempurnakan dan membersihkan aparatur negara dan
Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara yang dipimpin oleh seorangan menteri merangkap menjadi anggota Sektor N (Penelitian dan Pengembangan) dan Sektor Q (Keamanan dan Ketertiban) dan dengan
Keppres Nomor 45/M Tahun 1983 Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara diubah kembali menjadi
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara yang secara langsung menteri pada kementerian tersebut merangkap pula sebagai wakil Ketua
Bappenas.
Tahun 1995 melalui
Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tanggal 27 September 1995 pemerintah mencanangkan dimulai diterapkan lima hari kerja yaitu hari kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1995 sebagai akibat dari sistem pembinaan Karier PNS, pertumbuhan nol pegawai negeri sipil (
PNS) (Zero Growth) seta perampingan organisasi.
Setelah tahun 1998 yang dikenal sebagai
gerakan reformasi maka melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 mengenai keberadaan pegawai negeri sipil (
PNS) sebagai anggota partai politik lalu diubah melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 yang membuat pegawai negeri sipil (
PNS) kembali tertutup dari kemungkinan untuk ikut berkiprah sebagai keanggotaan dalam partai politik apapun.
Organisasi

contoh diagram ini menunjukkan kedudukan kementerian dalam struktur administrasi publik
Sejak kemerdekaan 63 tahun yang lalu dan setelah melalui proses yang panjang, akhirnya
Indonesia baru mempunyai pengaturan organisasi kementerian sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan kementerian negara.
Korupsi
Usaha rasionalisasi organisasi pemerintah pusat sebenarnya sudah dimulai sejak masa
Kabinet Wilopo (
3 April 1952 -
1 Agustus 1953) yang berusia hanya sekitar limabelas bulan kemudian diteruskan oleh
kabinet Ali Sastroamidjojo I (
1 Agustus 1953 -
12 Agustus 1955) bernasib sama berusia dua tahun yang mempunyai program antara lain menyusun aparatur pemerintah yang efisien serta pembagian tenaga yang rasional dengan mengusahakan perbaikan taraf kehidupan pegawai serta memberantas korupsi dalam birokrasi dengan pembentukan
Panitia Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian (PANOK) yang bekerja antara tahun
1952 sampai dengan
1954.
Pada 2009, bila merujuk pada laporan dari
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di
Hongkong, Indonesia masih menunjukan angka yang buruk terutama dalam hal
hambatan birokrasi atau
red tape barriers [7]Administrasi publik
Wajah birokrasi dari suatu penyelengaraan negara
Indonesia akan tercermin pada hasil produk yang berupa adanya standar pelayanan terhadap publik atau masyarakat dalam rangka merasionalisasi birokrasi akan dapat terwujudnya dengan adanya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, terdapat sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak dan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dengan terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan dan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memperoleh penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada kepentingan umum serta adanya kepastian hukum dalam kesamaan hak disamping keseimbangan hak dan kewajiban meliputi keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, penyedian fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
Sebagai penjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik dan penanggung jawab adalah pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, pimpinan lembaga lainnya, gubernur pada tingkat provinsi dengan kewajiban melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sedangkan pada tingkat bupati pada tingkat kabupaten, walikota pada tingkat kota melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan menteri atau dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dan gubernur
Akuntabilitas Publik
Pendulum kekuasaan di
Indonesia selalu bergulir dari waktu-ke waktu, bergerak antara
eksekutif dan
parlemen serta peran kekuatan bersenjata yang ikut mewarnai kekuasaan para pelaku hampir tidak mengalami perubahan yakni berputar antara partai politik yang satu kepada partai politik yang lain, pada kurun waktu tertentu lokus kekuasaan akan bergeser pada pihak eksekutif dimana partai politik pemerintah akan lebih kuat dan menunjukkan supremasi kekuasaan katimbang kelembagaan negara lainnya yang dengan demikian penggunaan kekuasaan akan terfokus dan bermuara di satu tempat, saat kurun waktu yang lain, kekuasaan berada pada pihak legislatif, partai politik lain yang berada di legislatif akan memainkan peran yang sentral dalam fokus penggunaan kekuasaan membuat stabilitas pemerintahan tidak bisa tercapai, sementara itu profesionalisme baik pada pihak legsilatif maupun pihak eksekutif tidak juga pernah bisa terwujudkan, politik tarik-menarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan akan selalu silih berganti berada di kedua pihak tersebut.
Sementara kepentingan publik tidak pernah merasakan keterwakilan dalam siklus kekuasaan ini, keperwakilan melalui partai politik yang seharusnya sebagai mewakili kepentingan publik hanya mengenalnya pada saat-sat ketika akan diadakan pemilu belaka dan seterusnya kepentingan publik akan terlupakan kembali dengan kekuasaan ego partikular dan elite pimpinan partai politik semata.
Dalam Perkembangannya
administrasi publik akan cenderung menjadi instrumen dari kekuasaan dari para elite dengan membuat publik senantisa kembali berada pada posisi objek dan kepentingan sedangkan pertanggung jawaban kepada publik mempunyai kadar amat rendah dan cenderung bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali akhirnya akan bisa menjadi sebuah
ironi di dalam sebuah negara
demokrasiyang tanpa mempunyai
akuntabilitas[8][9], negara demokrasi yang seharusnya dapat melahirkan
administrasi publik yang lebih baik sebagaimana administrasi publik di beberapa negara yang telah mengikuti sistem demokrasi yang seharusnya menjadi sebuah kekuatan besar yang dapat dipergunakan untuk meminta pertanggung jawaban publik dan harus dapat segera dilaksanakan oleh pemerintahan dan publik dapat pula antara lain dengan menuntut uang pajak yang dibayarkan kepada pemerintahan agar selalu dipergunakan secara jelas dan bermanfaat bagi publik melalui tekanan-tekanan publik antara lain fiskal kepada
administrasi publik akan semakin kuat, publik harus dapat mengetahui setiap aliran penggunakan dan pemanfaatan fiskal dengan demikian publik tidak lagi akan dapat mentoleransi terhadap segala macam
pemborosan,
inkomptensi dan
kecerobohan yang mungkin atau yang dilakukan oleh aparatur administrasi publik yang berakibatkan kerugian bagi publik.
Efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas publik terdapat faktor yang menentukan antara lain dengan adanya derajat transparansi penerimaan yang dapat diukur dari peran media massa dalam memberikan informasi kepada publik meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang telah dilakukan dan tidak pernah dilakukan bagi kepentingan publik serta pendidikan pemahaman hak-hak sipil yang diberikan kepada para warga negara agar mengetahui hak dan kewajibannya serta kesiapannya untuk menjalankan.
[10]
Referensi- ^ Noer, Deliar (2005). KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat : parlemen Indonesia, 1945-1950. Yayasan Risalah. ISBN 9799770637.
- ^ Weber, Max (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Collier Macmillan Publishers, London. hlm. 102.
- ^ Parkinson, Cyril Northcote (1962). Parkinson's law: and other studies in administration. University of Michigan.
- ^ (Inggris) Osborne, David (1993). Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector. Plume.
- ^ Litchfield, Edward H. (1954). Bureaucracy: Training for Administration in Indonesia. Ithaca, New York : Cornell University School of Business and Public Administration.
- ^ (Jepang) [http://www.cseas.kyoto-u.ac.jp/seas/1/1/010103.pdf PDF Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University
- ^ Table of Asian corruption scores in PERC survey
- ^ Democracy without Accountability? Indonesia's Party Cartel in the 2009 Elections
- ^ Democracy yes, accountability no ?
- ^ Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik
Pustaka
- (Inggris) Yannis Papadopoulos, Governance And Democracy : Comparing National European And International Experiences, Routledge (2006) ISBN 978-0-415-36291-7
- (Inggris) Vivien A Schmidt, Democracy in Europe: The Eu and National Polities, Oxford University Press (2006), ISBN 0-19-926698-0